Pengertian Sastra Populer: Sejarah, Ciri, dan Perbedaannya dengan Sastra Adiluhung

caramesin.com-Apakah Grameds menyadari bahwa dunia sastra itu sangat luas? Yap, tanpa disadari oleh banyak orang, perkembangan sastra justru berpengaruh langsung terhadap perkembangan budaya, sebab keduanya sama-sama menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek di dalamnya.

Atas seiring perkembangan budaya yang makin populer ini, juga tentu saja akan menjadikan sastra sebagai sebuah sastra populer. Apabila membahas mengenai sastra populer, sebenarnya hal tersebut kerap Grameds temui kok di dalam kehidupan sehari-hari. Contoh dari sastra populer adalah Dilan: Dia adalah Dilanku tahun 1990.

Lalu, sebenarnya apa sih sastra populer itu? Bagaimana perkembangan sastra populer di Indonesia ini? Nah, supaya Grameds dapat memahami hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!

Pengertian Sastra Populer

Sebenarnya, pembicaraan mengenai sastra populer ini dapat melebar hingga kemana-mana. Secara harfiah, popular literature apabila diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia yakni sastra populer. Sayangnya, ternyata banyak orang yang tidak setuju dengan penerjemahan tersebut, sebab “sastra” dalam konteks bahasa Indonesia justru diartikan sebagai tulisan yang adiluhung dan tidak dapat diartikan sebagai “literature” begitu saja karena konotasinya berbeda. Namun saat ini, dengan berkembangnya masyarakat yang mana mereka menjadi lebih pragmatis, maka kata “literatur” ini juga dapat digunakan untuk mengacu pada popular literature atau sastra populer ini.

Hakikat dari sebuah sastra populer dapat disimpulkan menjadi beberapa hal, yakni sebagai berikut:

Suatu karya sastra dapat disebut sebagai karya adiluhung karena kualitasnya dianggap memenuhi kriteria karya sastra yang baik sekaligus populer di kalangan masyarakat.
Suatu karya sastra populer yang ditulis untuk memenuhi selera publik dapat “naik” menjadi adiluhung karena ternyata mengandung nilai-nilai kesastraan yang tinggi.
Suatu karya sastra populer dapat dianggap demikian dengan terbatasnya pada ruang dan waktu (mengikuti tren).
Kesuksesan karya sastra populer dapat dilihat dari jumlah penjualannya, sementara kesuksesan karya sastra adiluhung dilihat dari penghargaan sastranya.

Nah, dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sebuah sastra populer adalah tulisan yang berisikan kehidupan manusia sehari-hari dan diterima oleh banyak masyarakat (berdasarkan pada penjualannya).

Apakah Semua Tulisan Dapat Disebut Sebagai Sebuah Sastra?

Dalam bahasa Inggris, sastra disebut dengan “literature”, sehingga jika berkaitan dengan sastra populer maka disebut dengan “popular literature”.

Banyak sastrawan berusaha mendefinisikan mengenai apa itu sastra. Beberapa diantaranya adalah Sumardjo & Saini (1997: 3-4) berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, gagasan, perasaan, motivasi, keyakinan, ungkapan atau ungkapan, bentuk dan bahasa didasarkan pada pendapat ini sebagai sastra.

Tidak hanya itu, Saryono (2009) juga menyatakan bahwa sastra memiliki kemampuan merekam semua pengalaman empiris-alam maupun non-empiris-supranatural. Ia merupakan pengalaman hidup yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yang dengan kata lain sastra dapat menjadi saksi dan komentar atas kehidupan manusia.

Oleh karena itu, ekspresi pengalaman manusia dapat disebut dalam bentuk sastra tekstual (linguistik) yang diungkapkan secara terbuka, yang nantinya dapat dikaitkan dengan karya seni. Sastra yang disebut “karya sastra” juga harus memenuhi standar “keindahan”.

Standar keindahan ini mengacu pada penggunaan bahasa dalam tulisannya, apakah bahasa biasa atau bahasa yang istimewa. Adanya standar tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan akan “bagaimana jika pemakaian bahasa dalam sastra tersebut adalah biasa saja atau bahasa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi justru digemari oleh masyarakat banyak?”

Nah, hal inilah yang terlihat dalam novel-novel populer yang kerap diperbincangkan dan digandrungi oleh banyak kalangan masyarakat, yang mana bahasa dalam novel-novel populer tersebut adalah bahasa biasa atau bahasa sehari-hari. Lalu, berkembang lagi pertanyaan mengenai “apakah novel populer itu tidak bisa dianggap sebagai sebuah karya sastra karena penggunaan bahasanya yang biasa saja? Apabila demikian halnya, apakah itu berarti karya sastra hanya diperuntukkan untuk tulisan-tulisan adiluhung yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat kelas atas saja?

Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sebuah karya sastra harus memiliki sebuah kriteria tertentu, tidak hanya sekadar pada bahasa tulisannya saja, yang kemudian disepakati secara umum. Sebab dari adanya kriteria yang tidak menentu justru dapat menjadikan masyarakat banyak menganggap bahwa sastra populer telah berkembang di zaman sekarang, sementara “sastra yang sebenarnya” sudah mati.

Sejarah Perkembangan Sastra Populer

Perlu diketahui bahwa keberadaan sastra populer atau popular literature ini sejak zaman dahulu selalu ditempatkan berada di bawah sastra adiluhung atau high literature. Hal tersebut karena adanya anggapan bahwa nilai sastra dalam sebuah sastra populer lebih rendah dari sastra adiluhung. Hal yang menyebabkan kualitas dari sebuah sastra populer lebih rendah kadar sastranya dibandingkan dengan sastra adiluhung, salah satunya adalah sastra populer cenderung diciptakan secara cepat dan tergesa-gesa demi memenuhi tuntutan pasar tanpa memperhatikan nilai sastra yang termuat di dalamnya.

Apabila di Indonesia, biasanya sastra populer ini disebut dengan karya picisan, sementara di negara Amerika Serikat, disebut dengan lowbrow literature, dime novel, atau tulisan picisan.

Sejarah Perkembangan Sastra Populer di Dunia

Pada tahun 1960-an, keberadaan sastra mulai berkembang secara pesat dan tidak dianggap sebagai tulisan picisan lagi, terutama di Amerika Serikat. Bahkan pada kala itu, telah terdapat berbagai metode dan teori guna menelaah berbagai karya sastra populer ini. Terdapat pandangan bahwa sastra populer ini sebenarnya merupakan genre khusus dalam sebuah budaya populer yang sama nilainya dengan budaya adiluhung.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu karya novel juga dapat disebut sebagai sastra populer, terutama pada bagian tema, cara penyajian teknik bahasa, dan penulisan yang kebanyakan mengikuti selera masyarakat. Tidak hanya itu saja, di Amerika Serikat, keberadaan sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga bertindak sebagai barometer dari perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakatnya. Sastra populer seolah-olah mencerminkan eksistensi kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga realitas yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan indikator munculnya sastra populer. Dalam sejarah Amerika, sastra populer abad 18 dan 19 pertama kali muncul dalam kategori “lakukan sendiri”. Buku-buku dalam kategori ini sering digunakan sebagai bacaan sehari-hari oleh orang Amerika pada saat itu. Buku sastra terkenal lainnya adalah non-fiksi Stephen Covey, Chicken Soup, yang telah diterjemahkan ke banyak bahasa.

William Shakespeare, yang dianggap sebagai pelopor budaya tinggi, dan Charles Dickens dengan karyanya Oliver Twist bertanggung jawab atas perkembangan sejarah sastra Inggris.

Sejarah Perkembangan Sastra Populer di Indonesia

Di Indonesia, keberadaan sastra populer diasumsikan sebagai kesusastraan Indonesia modern yang berkembang setelah Indonesia menerima kebudayaan Eropa modern, yakni pada abad ke-17 hingga ke-19. Pada masa tersebut, telah terbit juga surat kabar berbahasa Melayu. Dari hal itu, menunjukkan bahwa di kalangan bangsa Indonesia sudah banyak yang dapat membaca huruf Latin, yang mana kebanyakan mereka mempelajarinya dari pendidikan Barat, sehingga dapat disimpulkan bahwa surat kabar tersebut juga termasuk dalam hasil kebudayaan Barat.

Tahun 1930-an

Pada tahun 1930-an, sastra populer mulai muncul di kehidupan masyarakat yakni dengan terbitnya cerita berjudul “Sobat Anak-Anak” karya Liem Kim Hok. Pada kala itu, memang kebanyakan sastra populer memiliki genre cerita roman Medan dan roman Melayu-Tionghoa. Novel Medan diterbitkan, sesuai dengan namanya, sebagian besar di kota Medan, Padang, Bukittinggi dan sekitar pulau Sumatera. Kemudian dalam novel-novel Malaysia-Cina, kebanyakan diterbitkan di Surabaya, Malang, Kediri dan beberapa kota di pulau Jawa. Tidak hanya itu, novel Tionghoa-Malaysia ini juga banyak diterbitkan di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Flores.

Tahun 1950-an

Pada masa ini, sudah banyak novel dan cerpen yang mana didominasi oleh berbagai tema percintaan, detektif, dan koboi, dengan bumbu sensualitas. Bahkan ada juga sastra yang menjadi curahan hati para anak muda setelah mengalami penindasan, sehingga kebanyakan menggunakan bahasa informal.

1970-an

Pada saat itu, keberadaan sastra populer menjadi mode bagi banyak orang karena memenuhi kebutuhan pembaca akan pengalaman baru. Sebagian besar pembaca sudah terdidik untuk memahami sastra populer dan memiliki banyak waktu luang untuk membaca, sebagian besar pembaca adalah wanita.

Tidak hanya itu, situasi ekonomi di Indonesia mulai membaik kembali, sehingga teknologi percetakan juga mulai membaik dan mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap buku-buku sastra. Keberadaan sastra populer dianggap penting karena dianggap sebagai peristiwa penting, terutama dalam sejarah sastra Indonesia modern.

Walaupun situasi ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik, cerita-cerita dalam sastra populer periode ini masih didominasi oleh persoalan-persoalan domestik yang mengakar sebagai akibat dari situasi budaya yang belum terselesaikan. Akan tetapi, pada masa inilah sastra populer berkembang, terutama dalam kisah-kisah petualangan dan cinta remaja.

Contoh karya sastra populer dari masa ini antara lain Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistir, Ashadi Siregara Cintaku di Kampus Biru, Anak Jalanan Ali Topan karya Teguha Esha dan masih banyak lagi.

1980-an

Selama ini, literatur populer sering berkisar pada kisah hidup remaja mulai dari hubungan hingga cinta mereka pada monyet. Penggunaan bahasa lebih serius dan juga baku. Sayangnya, pada saat itu, keberadaan sastra populer menjadi tidak menguntungkan karena persaingan dalam perkembangan sinetron. Contoh sastra populer pada periode ini antara lain Sepatu Olga Roda dan Lupus karya Hilman Hariwijay, Jejak Kaki Zara Zettira dan Balada Si Roy karya Gol Gong.

2000

Saat itu, eksistensi sastra populer dengan berbagai tema, karakter, dan konflik kembali berkembang. Transfer bahasa juga mudah, khas gaya bahasa remaja, seperti chicklit dan teenlit juga berkembang selama ini.

Dengan maraknya sastra populer Indonesia, banyak penulis terkenal yang telah menciptakan banyak karya sastra yang membahas tentang seks dan kekerasan, seperti Motinggo Busye, D. Iskandar, Mira W.D, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu sastra populer dimaksudkan hanya untuk hiburan, berbeda dengan sastra mulia yang digunakan sebagai sarana pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan dan mengkaji estetika manusia.

Pada tahun 2003, sebuah novel berjudul Area X karya Eliza Vitri Handayani diterbitkan, yang menceritakan tentang asam ribonukleat (berkaitan dengan genetika) dan makhluk luar angkasa. Banyak spekulasi yang mengatakan bahwa sejak saat itu, pertumbuhan sastra populer di Indonesia mulai meningkat pesat. Namun, ada juga yang memahami sastra populer sebagai upaya untuk menangkap peristiwa yang terjadi di masyarakat dan ditulis oleh penulis dengan penekanan pada kreativitas.

Di awal tahun 2000-an, beberapa genre baru juga dikembangkan, seperti chicklit, teenlit dan metropop. Ketiga jenis ini sebelumnya dianggap oleh sebagian kalangan sebagai praktik yang tidak boleh diidentikkan dengan literatur pendahulunya. Di antara karya-karya sastra populer tersebut justru tergolong bestseller, seperti Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Eiffel I’m In Love karya Rahma Arunity, Single karya Adhityi Mulyi dan lain-lain.

Dari keberadaan novel-novel tersebut terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara sastra bangsawan dan sastra populer dalam sastra Indonesia. Asumsi ini didukung terutama oleh fakta bahwa Indonesia tidak seperti Amerika yang terindustrialisasi, sehingga novel dan penulis memainkan peran penting dalam keberadaan sastra populer.

Ciri-ciri sastra populer saat ini adalah sebagai berikut:

Tema cerita adalah kehidupan nyai, cerita gaib, cerita cinta dan cerita silat.
Beberapa karya sastra memiliki ideologi yang berbeda, salah satunya adalah ideologi komunis yang ditulis oleh R.M. Tirto Adhi Soerjo. Bahasa ringan yang digunakan, yaitu bahasa melayu rendah yang biasa digunakan masyarakat sehari-hari.
Diterbitkan di luar Balai Pustaka.

Contoh beberapa novel kecil dari periode ini adalah lukisan Puydangg (Medan, 1939-1942), Roman Indonesia (Padang, 1939-1940), Pergerakan Dunia (Solo, 1940-1941) dan banyak lainnya. Sayangnya, pertumbuhan sastra populer juga melambat selama periode ini karena kerusuhan politik, terutama selama transisi antara pemerintah Jepang dan Indonesia. Namun, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia berhasil, sastra populer mulai tumbuh kembali.

Perbedaan Sastra Populer dengan Sastra Adiluhung

Sastra populer tentu saja berbeda dengan sastra adiluhung, terutama dalam tema ceritanya. Meskipun begitu, sastra populer juga dapat “naik” menjadi sastra adiluhung apabila ternyata isi ceritanya memenuhi standar, terutama yang mempunyai tema kemanusiaan secara mendalam.

Nah, berikut adalah perbedaan sastra populer dan sastra adiluhung menurut Jakob Sumardjo.

Menurut Jakob Sumardjo

No. Sastra Populer Sastra Adiluhung
1. Mengandalkan alur cerita dan tema, misalnya kasih asmara. Unsur-unsur sastra disusun dengan baik, terutama penggunaan tema yang berupa kemanusiaan.
2. Bersifat sementara. Selalu ada pembaharuan.
3. Menggunakan bahasa populer yang mengikuti tren. Menggunakan bahasa standar.
4. Berfungsi sebagai hiburan. Berfungsi sebagai penyempurnaan diri dan sosial.
5. Dapat sekali baca. Dapat dibaca berkali-kali.

Related posts