Melihat sentimen negatif terhadap Pocophone di Indonesia

caramesin.com-Apa yang membuat Poco begitu aman untuk berjalan sendiri? Seberapa besar pengakuan produk di Indonesia?

 

Sama seperti fokus saya pada perkembangan pasar smartphone di tanah air beralih ke topik lain, Pocophone atau Poco mengumumkan berita yang terlalu penting untuk diabaikan. Sedikit, sampai sekarang kita kenal sebagai sub-brand Xiaomi di Indonesia, sekarang sudah mandiri. Sejak awal tahun 2021, Poco hadir sebagai merek independen dengan tim produk, penjualan, dan pemasarannya sendiri. Apa yang membuat Poco begitu aman untuk berjalan sendiri? Seberapa besar pengakuan produk di Indonesia?

Sama seperti fokus saya pada perkembangan pasar smartphone di tanah air beralih ke topik lain, Pocophone atau Poco mengumumkan berita yang terlalu penting untuk diabaikan. Sedikit, sampai sekarang kita kenal sebagai sub-brand Xiaomi di Indonesia, sekarang sudah mandiri. Pada awal tahun 2021, Poco telah hadir sebagai merek independen dengan tim produk, penjualan, dan pemasarannya sendiri. Dalam obrolan dengan beberapa wartawan beberapa hari lalu, Andi Re

Dalam perbincangan dengan beberapa wartawan beberapa hari lalu, Andi Renreng, Marketing Manager Poco Indonesia mengungkapkan keinginannya kepada media untuk menghadirkan Poco sebagai brand independen, terlepas dari bayang-bayang Xiaomi. Ini adalah langkah yang berani. Meski produknya sudah mulai diminati kalangan anak muda khususnya mobile gamers, namun kiprah Poco di Indonesia masih tergolong pendek dibandingkan Xiaomi yang sudah ada sejak tahun 2014.

Apa yang membuat Poco begitu aman untuk berjalan sendiri? Seberapa besar pengakuan produk di Indonesia? Akankah MiFans menjadi faktor utama dalam mendongkrak popularitas Poco ke level yang belum pernah terlihat sebelumnya? Apakah produk Poco yang diluncurkan di pasar Indonesia bebas dari komplain?

Artikel ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan tersebut dari sudut pandang Poco atau Xiaomi. Mereka pasti punya riset dan strategi untuk mensukseskan Poco di Indonesia. Dan lagi, bahkan jika saya harus menghabiskan waktu berjam-jam mendiskusikannya dengan Poco, saya mungkin tidak bisa menulis sebagian besar karena itu adalah informasi sensitif.

Jadi mari kita lihat dari sudut pandang pengguna Poco. Apa yang mereka katakan tentang sedikit di jejaring sosial? Ungkapan langsung pengguna sangat penting untuk mengetahui perasaan batin mereka tentang produk dan layanan Poco, serta untuk mendengar apa yang pernah Poco transmisikan ke media, atau ke media atau ke pembuat konten teknologi di YouTube.

Karena itu, saya telah melihat data percakapan Poco di YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, dan TikTok selama sebulan terakhir. Hasilnya cukup menggembirakan. Seperti yang Anda lihat di bawah, percakapan di Poco hanya 10,4% negatif. Dari sini saya kemudian mengambil sampel untuk melihat apa yang menjadi keluhan utama pengguna Poco.

Sekadar informasi, analisis sentimen ini diproses menggunakan big data berdasarkan teks atau kata-kata yang digunakan pengguna di jejaring sosial yang saya sebutkan di atas. Pembelajaran mesin tentu tidak bisa seratus persen benar. Dalam beberapa kasus, mesin mungkin salah mengidentifikasi konten karena mengandung kata-kata yang biasanya berkonotasi negatif, seperti dalam frasa “Perintah Banjir”.

Saya dapat meminimalkan kesalahan ini dengan memeriksa konten yang dimaksud secara manual. Menurut pemeriksaan mesin, 190 posting dengan perasaan negatif tentang Poco telah dicatat dalam sebulan terakhir. Setelah melalui semua postingan tersebut, saya menemukan keluhan paling umum dari pengguna Poco sebagai berikut: kualitas produk, kualitas layanan purna jual, dan ketersediaan stok. Kedua, produk yang paling banyak dikeluhkan pengguna adalah seri Poco M3. Saya menduga seri M kemungkinan besar akan menjadi produk terlaris Poco di Indonesia.

Pada contoh di atas, Anda dapat melihat bahwa keluhan pengguna tentang produk Poco sangat berbeda. Mereka mengeluhkan kualitas software, daya tahan produk, bahkan ketersediaan produk di kota mereka. Salah satu masalah yang paling umum adalah “sentuhan hantu”.

Seperti kebanyakan netizen, rata-rata pengguna Poco memposting pertanyaan atau keluhan tersebut melalui media sosial, khususnya di kolom komentar akun resmi Poco Indonesia. Begitu ya, sepertinya Poco telah melakukan segalanya untuk menanggapi keluhan ini. Poco mengarahkan pengguna untuk menyampaikan keluhan melalui fitur Umpan Balik di setiap perangkat. Di satu sisi, kami dapat melihat rekomendasi ini sebagai upaya akomodatif Poco untuk mendengarkan dan mengatasi semua keluhan pengguna karena saran mereka dapat langsung ke product engineer. Namun, di sisi lain, dapat dikatakan bahwa upaya semacam ini bertentangan dengan perilaku normal semua konsumen di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jejaring sosial adalah cara tercepat dan termudah untuk menyampaikan keluhan pelanggan. Menyarankan agar konsumen mengirimkan rekomendasi dan ulasan melalui saluran resmi terdengar sangat kuno dan merupakan model untuk semua produk dari perusahaan mana pun. Apakah Anda, misalnya, mengirim surat ke Po Box atau disebut Indofood karena tidak puas dengan rasa Indomie? Saya tidak tahu seberapa serius Poco menanggapi keluhan pelanggan dan apakah mereka benar-benar menghargai penggunanya. Jika kita melihat industri lain, seperti e-commerce, banyak perusahaan yang membuat akun media sosial yang khusus menangani keluhan pelanggan, misalnya Blibli Care. Selain itu, kami juga sering melihat perusahaan mengajukan pertanyaan yang sering diajukan.

Saya tahu, setiap perusahaan memiliki kebijakan tersendiri dalam mengelola komunitasnya. Apakah metode Poco efektif? Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak memiliki data berapa banyak pengguna yang benar-benar menggunakan fitur Umpan Balik. Namun, jelas bahwa rekomendasi ini sama sekali tidak mengurangi pertanyaan dan keluhan pelanggan tentang akun resmi perusahaan.

Fakta lain yang juga menarik perhatian saya adalah demografi pengguna Poco, di mana laki-laki mendominasi. Padahal, hal ini tidak mengherankan karena citra Poco terkait erat dengan dunia yang juga didominasi laki-laki, yakni gaming. Segera, mungkin komposisi yang mendasarinya tidak akan menjadi masalah. Namun, hal itu bisa menjadi kendala jika Poco terus memoles produk prianya. (Bukan deodoran untuk pria, kan?)

Sedangkan dari segi usia, pengguna Poco paling banyak adalah anak muda yang tinggal di Jawa Timur.

Melihat geolokasi pengguna, terlihat bahwa peluang Poco untuk berekspansi di seluruh provinsi di Indonesia masih sangat terbuka. Mereka bisa lebih dulu memantapkan lokasinya di pulau Jawa dan Bali sebelum berekspansi ke provinsi lain. Saya sendiri sangat senang melihat kemajuan Poco di bawah kepemimpinan Andi Renreng. Satu hal yang membuat saya khawatir adalah dia sepertinya terlalu fokus berkolaborasi dengan laki-laki di setiap peluncuran produk Poco. Ini bukan masalah gender, tentu saja, tetapi menjaga citra Poco terbuka, cocok untuk semua jenis kelamin.

Sebagai contoh terakhir, lihat bagaimana Logitech mengundang gamer wanita dan pria untuk mempromosikan produk mereka: Ada Shroud dan Danucd. Game ini adalah dunia pria. Namun, bukan berarti tertutup bagi wanita. Singkat kata Pak Andi, mulailah melebarkan visi agar para pemain/streamer atau yang berada di sektor kreatif juga terlihat.

Related posts